Oleh : Anggit Pujie Widodo
Budaya feodal bukan sekedar kisah sejarah di buku pelajaran. Ia hidup, bernafas, dan menyelinap dalam banyak sisi kehidupan kita hari ini.
Tak terlihat, tak terdengar, tapi dampaknya menghujam. Kita mungkin tak menyadarinya, tapi kita menjalani dan mewarisinya tanpa pernah benar-benar memilih.
Feodalisme adalah cara berpikir yang menempatkan manusia dalam hierarki kaku. Tua di atas muda, atasan di atas bawahan, pria di atas perempuan.
Dalam pola pikir ini, bersuara dianggap kurang ajar, bertanya dianggap melawan. Dan sejak kecil, kita diajarkan diam sebagai bentuk hormat. Padahal, itu bukan hormat, itu ketakutan.
Feodalisme sering dianggap sebagai bagian dari sejarah yang sudah lewat. Namun sesungguhnya, ia tidak pernah benar-benar mati.
Feodalisme hanya berganti wajah tidak lagi berupa sistem kerajaan dengan tanah dan bangsawan, tetapi menjadi pola pikir dan struktur sosial yang kaku, mengakar dalam kehidupan kita sehari-hari.
Diam-diam, ia menyusup ke dalam ruang keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, bahkan birokrasi pemerintahan.
Feodalisme menanamkan satu keyakinan purba, bahwa manusia tidak setara. Bahwa usia, jabatan, status sosial, atau kedekatan dengan kekuasaan membuat seseorang otomatis lebih tinggi nilainya daripada yang lain.
Dalam pola pikir ini, yang muda harus tunduk pada yang tua, yang bawahan harus manut pada atasan, tanpa ruang untuk bertanya atau mengkritik. Hierarki bukan lagi alat untuk keteraturan, tapi tembok penghalang untuk berpikir kritis.
Budaya ini bermula dari masa kerajaan, menguat di era kolonial, dan kini berwujud baru dalam kemasan modern.
Rumah tangga, kantor, sekolah, bahkan ruang publik. Kita tak lagi dijajah bangsa asing, tapi dijajah oleh pola pikir lama yang tak pernah dipertanyakan.
Lihatlah ke dalam keluarga. Anak-anak tumbuh dalam suasana bisu. Orang tua dianggap selalu benar, tak boleh dibantah. Padahal anak juga manusia, punya logika, rasa, dan batasnya sendiri.
Jika sejak kecil anak tidak dilatih menyuarakan pendapat, bagaimana mungkin kelak ia tumbuh sebagai warga negara yang kritis dan sadar hak?
Dalam relasi antar gender, feodalisme menciptakan luka diam-diam. Laki-laki diajarkan untuk selalu kuat, tak boleh menangis, tak boleh terlihat rapuh. Di sisi lain, perempuan dididik untuk patuh, lembut, dan mengalah.
Padahal di balik tubuh laki-laki yang tegap bisa ada luka yang tak pernah boleh disebut. Dan perempuan, sebagaimana laki-laki, lahir dengan potensi yang sama bukan untuk dibungkam, tapi untuk didengarkan.
Di masyarakat, yang kaya, tua, dan bergelar sering kali ditempatkan di atas segalanya tanpa evaluasi. Gelar dan status jadi tameng dari kritik. Sementara rakyat diajarkan untuk tunduk, bukan untuk berpikir.
Siswa takut guru, karyawan takut bos, istri takut suami, masyarakat takut pejabat. Ini bukan rasa hormat, ini ketakutan yang diwariskan.
Celakanya, kita teruskan itu semua tanpa sadar. Kita mendidik anak seperti dulu kita dididik. Kita memimpin seperti dulu kita dipimpin. Luka itu akhirnya diwariskan dengan nama “tradisi”.
Menghargai orang tua, guru, pemimpin, bukanlah masalah. Yang jadi masalah adalah ketika rasa hormat hanya diberikan karena usia, jabatan, atau status bukan karena integritas dan kelayakan.
Saatnya kita membangun relasi yang setara di rumah, di kantor, di masyarakat. Relasi yang saling mendengarkan, saling menghargai, tanpa harus menindas atau ditindas.
Bangsa yang sehat dibangun dari keluarga dan masyarakat yang sehat. Dan masyarakat yang sehat hanya bisa lahir dari relasi yang adil, terbuka, dan setara. Bukan dari warisan feodal yang diam-diam mematikan.