“AMONG ROSO” Sebuah Gaya Kepemimpinan

4985

Filosofi

Among Roso terdiri dari dua kata “Among” yang berarti pengasuh atau pemelihara, sedangkan “Roso” bisa diartikan rasa atau perasaan. Filosofi “Among Roso” bukan hanya berarti mengasuh atau memelihara perasaan. Namun, lebih pada bagaimana kita harus mengatur perasaan diri sendiri sebelum berbagi rasa dengan orang lain, sehingga timbul saling menghormati dan timbul rasa kasih yang manusiawi sebagai sendi dasar terciptanya saling pengertian.

Dalam diri seseorang ada ribuan atau bahkan jutaan rasa. Ribuan dan jutaan rasa ini menjadi bawahan rasa sejati dan sejatining rasa. Ada rasa ingin menang sendiri. Ada rasa ingin mengalah terus. Rasa ingin balas dendam, rasa hidup, rasa tanggap, rasa mati, rasa unggul, rasa cinta, dan sebagainya. Sifat semua rasa adalah halus, tersembunyi, hanya orang yang cerdas (landhep pangrasane) saja yang mampu menerka rasa orang lain. Rasa akan bercampur dengan keinginan, pikiran, dan hawa nafsu. Seluruh hal ini hampir sulit dipisahkan. Hanya bisa dibedakan melalui sebuah proses perenungan panjang dan kemauan untuk memaknai dan menghargai hidup, karena setiap kejadian yang terjadi tiap detik dalam hidup kita sebenarnya penuh dengan hikmah. Namun terkadang kita belum menyisihkan waktu untuk duduk diam dan mengembara ke dalam diri kita. untuk menemukan makna “siapa saya?”, sebenarnya ” apa tujuan saya hidup?”.

Among Roso: Ojo Rumongso Iso, nanging Iso Rumongso

Salah satu ungkapan yang melengkapi falsafah “Among Roso” adalah Ojo Rumongso Iso, nanging Iso Rumongso secara sederhana bisa kita lengkapi ungkapan tersebut menjadi “Ojo nduweni roso Rumongso Iso, nanging nduwe roso Iso Rumongso”, kurang lebih artinya seperti ini “Janganlah memiliki rasa atau tingkah laku “Merasa Bisa”, tapi milikilah rasa “Bisa” tapi “Merasa”. Ungkapan ini berasal dari orang yang mampu menjalani hidup dengan sangat luar biasa, menjalani dengan ‘laku’, ‘roso’, dan ‘temenan’.

Ungkapan “Ojo nduweni roso Rumongso Iso” maksudnya adalah, janganlah diri kita ini, memiliki rasa atau sikap “Merasa Bisa”, contohnya adalah jika ada suatu pekerjaan, kita langsung terima karena kita merasa bisa, sedikit-sedikit kita merasa bisa mengerjakannya, tapi sebenarnya kita tidak mampu mengembannya, karena kita berfikiran biar nanti dikerjakan dengan orang lain yang lebih ahli, atau yang penting kita mendapat nilai lebih dihadapan pimpinan kita, inilah yang membuat celaka bagi kita sendiri, maupun perusahaan kita, Amanah yang diberikan merupakan tanggung jawab kita untuk menjaganya dengan sebaik mungkin, sebisanya kita kurangi atau kita cegah Rasa atau sikap Ojo Rumongso Iso.

Sedangkan ungkapan “nanging nduwe roso Iso Rumongso maksudnya adalah ketika seseorang diberikan pekerjaan, atau amanah, bukan berarti kita merasa tidak bisa mengerjakan pekerjaan yang diberikan, namun kita dahulukan orang lain terlebih dahulu karena inilah letak kekuatan kata-kata ini, mendahulukan orang lain, karena sebenarnya kita bisa, tapi merasa orang lain lebih membutuhkan pekerjaan itu. Kita harus memiliki rasa untuk saling menghormati, saling menyayangi dan mengasihi. Seringkali kita melupakan sikap Iso Rumongso, akhirnya timbul rasa kita lebih dibandingkan orang lain, kita merasa tinggi hati, merasa paling diantara yang lain, dan akhirnya timbul rasa sombong dari dalam hati kita, perubahan yang secara halus inilah yang membuat kita menjadi teman, kawan bahkan bersahabat dengan setan.

Rasa Rumongso Iso adalah rasa untuk lebih melihat kedalam diri kita terlebih dahulu, membesarkan rasa introspeksi diri, menguatkan pondasi hati kita, karena kita juga bisa melihat kesekitar kita, siapa yang lebih membutuhkan, inilah yang menjadi keindahan hidup, menjalin silaturahmi tanpa orang lain tahu, karena kita turut memikirkan nasib orang lain diatas nasib kita. Dengan menggunakan ilmu , kenapa kita tidak bisa bermanfaat bagi orang lain, sedangkan itu adalah suatu amalan yang nanti pahalanya tidak akan putus hingga kita di alam barzah. (diadaptasi dari berbagai sumber: wdw, 2019)