
JOMBANG – Niat hati ingin menyimpan uang di Bank agar aman, justru membuat Siti Maghfiroh menghadapi persoalan panjang. Bagaimana tidak, ketakutan dan kebingungan perempuan 36 tahun ini semakin menjadi setelah uang tabungan miliknya dan suaminya senilai Rp200 juta hanya tersisa Rp22 juta.
Pengakuan itu dilontarkan warga Perum Puri Astapada Jombang ini setelah melakukan pengecekan dan hendak melakukan penarikan.
Uang tabungan senilai Rp200 juta itu disetorkan Siti bersama suaminya Aditya pada tahun 2022 silam di Bank Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini.
“Kaget sekali, tahu uang saya tinggal Rp22 juta. Padahal saya menabung senilai Rp200 juta,” ucap Siti Maghfiroh saat diwawancarai, Rabu (5/3/2025) lalu.
Upaya Siti menanyakan kemana larinya uang itu terus dilakukan, hingga akhirnya Siti mendapat jawaban dari pihak bank, uang tersebut masuk sebagai deposito bukan tabungan.
Menurut pemahaman Siti, adanya perpindahan tabungan ke deposito dibutuhkan persetujuan nasabah, mulai dari mengisi formulir hingga penandatanganan.
Namun, Siti mengaku ia bersama suaminya tidak pernah mengisi formulir dan tandatangan memberikan persetujuan untuk perpindahan tabungan ke deposito, hingga saat ini ia merasa dirugikan lantaran tidak bisa mencairkan atau mengambil uangnya itu.
“Saya tidak pernah mengisi formulir atau memberikan izin untuk pemindahan (deposito),” tandasnya.
Ancam Laporkan ke Polda dan OJK
Secara terpisah, Beny Hendro Yulianto selaku kuasa hukum Siti Maghfiroh mengatakan, persoalan yang menimpa kliennya ini dianggap sebagai kasus dugaan maladministrasi, penyalahgunaan wewenang hingga tindak pidana perbankan.
Akibat adanya dugaan maladministrasi itu, pihaknya merasa dirugikan dan akan membawa persoalan ini ke ranah hukum.
“Kami akan melaporkan ke Polda Jatim dan otoritas jasa keuangan (OJK) terkait dugaan maladministrasi, dugaan penyalahgunaan wewenang dan dugaan tindak pidana perbankan,” kata Beny saat ditemui, Selasa (11/3/2025).
Menurut dia, pengalihan tabungan nasabah menjadi deposito tanpa persetujuan nasabah merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen serta dapat dikategorikan tindak pidana di bidang perbankan atau kejahatan perbankan.
Bagi Beny, pihak Bank Jombang wajib meminta persetujuan jika ingin merubah data banyak memindah uang dari tabungan menjadi deposito. Ia menyebut hal demikian juga diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pihaknya menduga, ada oknum yang tidak bertanggung jawab dibalik dugaan maladministrasi yang dianggap telah merugikan kliennya ini. Disisi lain Beny berpandangan tidak menutup kemungkinan hal serupa juga menimpa nasabah lainnya.
“Adanya dugaan dugaan hal negatif yang dilakukan oleh oknum di Bank Jombang ini tidak menutup kemungkinan akan menimpa nasabah lainnya,” pungkasya.
Bank Jombang Sebut Pemindahan ke Deposito atas Persetujuan Nasabah
Direktur Utama Bank Jombang Afandi Nugroho menyebut, pemindahan uang dari tabungan ke deposito dilakukan atas persetujuan nasabah. Bahkan, menurutnya perpindahan itu dilakukan untuk melindungi uang nasabah.
Sebab, nasabah mempunyai kredit sebesar Rp600 juta di Bank Jombang dengan jaminan petok D yang masih diurus menjadi sertifikat hak milik (SHM) oleh Pihak Bank Jombang.
Tabungan senilai Rp200 juta itu dijelaskan Afandi memang sengaja diminta oleh pihak Bank Jombang untuk dijadikan jaminan dalam proses pengurusan petok D menjadi SHM.
“Kami ngin melindungi nasabah agar tabungannya tidak terkena auto debit karena punya hutang Rp600 juta, kami menyarankan agar tabungan tersebut dijadikan deposito,” terang Afandi Nugroho, Rabu (12/3/2025).
Soal uang senilai Rp22 juta di tabungan nasabah, Afandi menerangkan, itu bukan uang yang tersisa di tabungan, melainkan merupakan bunga deposito.
Dia menjelaskan, uang nasabah tidak berkurang, justru bertambah menjadi Rp222 juta.
Bank Jombang mengaku apa yang telah dilakukan sesuai dengan prosedur. Termasuk soal pengambilan uang yang harus dilakukan oleh atas nama nasabah sendiri.
Nama nasabah adalah Aditya bukan Siti Maghfiroh, sehingga Bank Jombang mengizinkan penarikan uang sesuai dengan atas nama nasabah, bukan istrinya.
“Istrinya pernah kesini mau mengambil uang deposito itu. Namun kami enggan memberikannya karena nasabah juga masih hidup. Selain itu saat dilakukan video call untuk dijadikan bukti kuasa terhadap istrinya, nasabah ini juga tidak mau. Maunya hanya rekaman video biasa, sehingga kami tidak mau ambil resiko dan ini juga akan melanggar SOP,” pungkas Afandi.