memoexpos.co – Anggota DPRD Kabupaten Jombang Retno Marliyani diajukan Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Perindo Jombang.
Rencana PAW ini, diungkapkan oleh Ketua DPD Partai Perindo Kabupaten Jombang Achmad Tohari.
Dia menyebut, PAW ini dilakukan bukan tanpa alasan, menurutnya Retno Marliyani anggota DPRD Kabupaten Jombang Dapil 1 (Satu) ini sudah melanggar kode etik partai.
“Ya karena ada pelanggaran etik, sehingga di PAW,” ucap Tohari, Selasa (20/6/2023) kemarin.
Ia membeber, dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Retno, menurut Tohari adalah saat yang bersangkutan terlihat mendatangi kantor KPU pada 13 Mei 2023 lalu.
“Sebelum proses pendaftaran yang bersangkutan sudah dipanggil untuk menyerahkan berkas pencalonan sebagai kader Partai Perindo pada 6 Mei 2023,” ujarnya.
Tohari mengaku, setelah yang bersangkutan diberi waktu batas maksimal hingga 8 Mei 2023 kemarin. Ia tak kunjung mendaftarkan diri sebagai Bacaleg.
“Malah dia diduga membantu suaminya yang nyaleg di partai lain,” sambungnya.
Teguran secara lisan sudah dilakukan oleh Tohari, bahkan ancaman PAW juga sudah dilontarkan lantaran dianggap telah melanggar kode etik.
Tohari menjelaskan, bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Perindo sudah mengeluarkan surat persetujuan permohonan pemberhentian dan PAW terhadap Retno Marliyani.
“Merujuk pada surat nomor 293/P.2/DPP Partai PERINDO/V/2023. Partai Perindo sudah mengeluarkan surat persetujuan permohonan pemberhentian dan PAW. Surat ditandatangani langsung oleh ketua umum Perindo, Hary Tanoesoedibjo,” jelas dia.
“Surat langsung kami serahkan ke pihak DPRD Jombang namun sampai saat ini belum ada respon,” tandasnya.
Praktisi Hukum Menilai PAW Terlalu Dipaksakan
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Ketua DPD Partai Perindo Jombang terkait rencana PAW ini dinilai terlalu dipaksakan.
Hal itu diungkapkan oleh Praktisi Hukum sekaligus Akademisi di Kota Santri Dr. A Solikin Rusli.
“Dalam peraturan perundang-undangan, alasan anggota DPRD berhenti karena adanya tiga hal, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri dan diberhentikan. Pada klausul diberhentikan tidak ada alasan yang sama sekali karena perbedaan partai dengan suami, ini alasan yang dibuat-buat,” kata Solikin, Selasa (20/6/2023).
“Memang ada diantara alasan diberhentikan karena diusulkan oleh partai politiknya, akan tetapi disitu disebutkan pengusulan tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, lalu peraturan mana yang telah dilanggar,” sambung dia.
Solikin menilai, Ketua DPD Partai Perindo Jombang tidak konsisten dalam pemberhentian kadernya sebagai anggota DPRD ini. “Satu sisi alasannya berbeda partai dengan suami, disisi lain bilang langgar aturan partai. Inkonsistensi ini menunjukkan proses pemberhentian yang terlalu dipaksakan,” paparnya.
Menurut Solikin, berpolitik merupakan pilihan dan hak individu yang dilindungi undang-undang.
“Kecuali kalau yang bersangkutan sendiri pindah partai, itu baru melanggar undang-undang, karena syarat menjadi anggota DPRD adalah anggota partai yang bersangkutan, kalau dia pindah partai berarti bukan lagi anggota partai yang bersangkutan, maka baru dapat diberhentikan,” lontarnya.
“Kalau suaminya yang anggota partai lain, masalahnya dimana? pasal atau aturan partai mana yang dilanggar,” sambungnya lagi.
Solikin berpandangan bahwa proses PAW ini banyak kejanggalan. Menurutnya, dalam hal ini ada pernyataan Ketua Perindo Jombang bahwa proses PAW sudah sampai ke Mahkamah Partai (MP) dan telah diputuskan oleh DPP.
“Ini indikasi saling bertentangan, selain itu jika ke Mahkamah Partai (MP), kenapa yang bersangkutan tidak di klarifikasi dalam persidangan MP. Sebab yang namanya persidangan harusnya mendengarkan suara daripada dua belah pihak, apakah cuma dengan diletakkan dimeja ketua MP sudah cukup dan bisa dinamakan persidangan,” urainya.
Menurut analisis Solikin, melibatkan Mahkamah partai dalam persoalan ini menurutnya merupakan tindakan yang tidak tepat, karena belum merupakan sengketa.
“Mahkamah Partai (MP) itu berfungsi menyelesaikan sengketa internal, sedangkan yang bersangkutan belum melakukan perlawanan, sehingga dinilai belum ada sengketa, maka menjadi aneh, jika melibatkan MP,” ungkap dia.
“Lagipun dalam surat pemberhentian, saya membaca tidak ada tembusan kepada yang bersangkutan, menurut saya ini cacat administrasi, menurut teori hukum administrasi, sebuah keputusan dalam hal ini pemberhentian maka yang terkena keputusan harus mendapatkan salinan, jika tidak, maka keputusan tersebut menjadi cacat administrasi,” tandasnya.